Minggu, 30 Desember 2018

2018: Trisula Kerelaan


Titik tertinggi itu bernama kerelaan. Me·re·la·kan v memberikan dengan ikhlas hati; melepaskan (menyerahkan) dengan tulus hati. 2018 mungkin adalah puncak jatuh bangun kehidupanku hingga saat ini. Tak menutup kemungkinan tahun-tahun lainnya akan lebih berat. Karena kita tengah menghadapi kesulitan-kesulitan, menampung air mata sebab mempersiapkan hal lain yang lebih besar daripada itu. Lebih susah daripada itu.

Melepaskan Pekerjaan
Menjadi seorang fresh graduate dengan obsesi tinggi dan mimpi yang telah tersusun rapi seringkali membuat kita menjadi seseorang yang idealis. Ingin kerja di sini dan di sini. Sebagai ini atau ini. Dan banyak sekali standar tinggi yang ditetapkan. Mendapatkan pekerjaan sesuai keinginan, yang membuat kita bahagia adalah sebuah mimpi yang menjadi nyata. Pemanasan ujian besar sudah dilakukan sejak awal kerja. Lewat kerja 3 shift, saya belajar bagaimana tetap terjaga di tengah malam, bagaimana tak pernah terlupa untuk sholat malam, bagaimana tetap berfikir cepat dan rasional di tengah malam, dan juga tepat waktu untuk Sholat Subuh. Lewat kerja team saya belajar bagaimana komunikasi, mencari penyelesaian masalah secara tepat dan cepat, bagaimana belajar mendengar keluhan, bagaimana memberi jarak antara urusan pribadi dan urusan pekerjaan. Lewat pekerjaan ini pula bagaimana saya belajar menjadi seorang pemimpin untuk membawa tim, untuk memberikan contoh, tanpa melihat bagaimana fisik yang dimiliki.



Sabtu dan Minggu adalah hari yang berarti. Hari mengunjungi Mama. Meski perjalanan Bandung-Jogja ataupun Bandung-Semarang kurang lebih 8 jam, waktu bukanlah halangan. Yang menjadikan kita jauh adalah perihal perasaan. Jam 1 malam ke stasiun, kaki bengkak karena duduk terlalu lama di kereta ekonomi, lari-lari ngejar bus, dan banyak cerita lainnya. Yang paling tercatat dengan baik adalah absensi. Ada beberapa minggu yang tak mengizinkan saya menjumpai Mama. Persiapan audit, audit, hingga pasca audit adalah waktu yang menjadikan kita terlupa dengan waktu. Namun setelahnya, jatah cuti yang diterima banyak. Di awal, mungkin akan berfikir untuk apa cuti sebanyak ini. Keadaan masih baik-baik saja (saat itu). Hingga Mama diminta untuk radiasi di Semarang.

Mungkin banyak yang melihat saya liburan, bermain, atau hanya rindu kepada Mama. Lebih dari itu. Sebab, tak semua hal patut diberitahu. Tidak semua kisah perlu diceritakan. Yang lebih diperlukan oleh Mama saat itu adalah kehadiranku. Akan sangat jauh berbeda memberikan dukungan melalu telfon dengan bertemu. Kita dapat mengeratkan emosional, merasakan getar hatinya, hingga tahu apa yang dibutuhkan.

Saya kehabisan jatah cuti. Mungkin sekitar 20-30 hari. Dari yang biasanya menemani Mama hanya di Hari Sabtu dan Minggu saja, kini mulai diperpanjang. Saya hanya bekerja di Hari Kamis dan Jumat. Sebab satu hal yang saya ingat, "Engkau merawat Ibumu sambil menunggu kematiannya. Sementara Ibumu merawatmu sambil mengharap kehidupanmu dan kebahagiaan bagi dirimu".

Di Rumah Sakit, saat awal sebelum masuk kerja, ada kakek renta berjalan sendirian. Membawa obat sehabis mengantri berjam-jam lamanya. "Kalau Mama sakit nanti, apa Mbak akan tetap nemenin Mama?" "Bandung mungkin salah satu pilihan tepat, Ma. Kita bisa segera bertemu. Jarak mungkin lebih dekat. Tenang saja, Mbak akan jadi orang pertama yang ada kapanpun Mama butuhkan." Segaris senyum terkembang. Saya menunduk, menyeka sudut mata. Air mata pecah perlahan. Ya, ini adalah janji. Sebuah pengabdian.
Sudah sejak lama sebenarnya saya usul untuk melepaskan pekerjaan. Namun Mama tahu, bagaimana senangnya saya dengan pekerjaan itu. Mama tidak mengizinkan. Menahan. Hingga di pertengahan Agustus. Mama mulai merasa badannya sudah tak sekuat dulu. Mama merasa ingin selalu ditemani Ayah dan saya. Dan saat itu, sambil sedikit terisak, Mama mengizinkan saya melepas pekerjaan.

Saya menangis berhari-hari. Terkadang, menangis bukanlah perihal bahwa kita lemah. Tapi menangis mungkin menjadi salah satu cara untuk melegakan, untuk meyakinkan diri bahwa esok air mata itu tak akan jatuh lagi. Telaga bola mata harus lebih kuat. Bukan hanya perihal melepaskan pekerjaan, tapi lebih kepada Mama sudah mulai tidak kuat. Hingga meminta saya untuk pergi. Melepaskan pekerjaan itu.

Meski saya ekstrovert 98%, perihal hal-hal krusial saya adalah penjaga yang sangat baik. Hari Senin saya menyampaikan bahwa saya akan resign Hari Jumat kepada manager saya. Memang gila. Sebab sesuai prosedur, resign diajukan minimal satu bulan. Tapi ini adalah keadaan genting. Jatah cuti habis, ganti hari habis, hingga saya sudah berhari-hari potong gaji. Hal ini membuat rekan kerja tentu saja kewalahan. Sebab saya hanya dapat bekerja di Hari Kamis dan Jumat. Pergi ke Bandung pun dengan berat hati. Dengan air mata yang tak berhenti mengalir sepanjang perjalanan.
Jumat, tanggal 31 Agustus 2018. Diam-diam saya ngeprint surat pengajuan pengunduran diri. 

Keringat dingin. Tidak ada satu orangpun yang tahu, kecuali manager saya. Jam sebelas siang. Sebelum Sholat Jumat. Dengan perasaan campur aduk, saya menuju ruang Plant Manager. Tidak ada. Kosong. Lima belas menit menunggu. Masih tidak ada. Saya memutuskan kembali bekerja. Mungkin Senin saya baru bisa menemui.

Sepuluh menit kemudian, asisten Beliau menelfon bahwa PM sudah datang. Dengan kaki gemetaran, tangan dingin dan basah, suara patah-patah, saya menyerahkan surat wasiat itu. Di luar dugaan, Beliau langsung tanda tangan. Menyetujui. Dan bertitip pesan, "Untuk hal seperti ini, saya tidak punya alasan untuk menahan kamu. Berbaktilah. Dan jika ingin kembali, silahkan." Dengan gemetaran dan mata berkaca-kaca, saya meninggalkan ruangan Beliau.

Tidak ada yang menyangka ketika saya berpamitan untuk pergi. Mereka kembali melakukan aktivitas seperti sedia kala. Abai.

Melepaskan Mama
Mungkin, ungkapan "Hiduplah seperti kau akan mati besok" perlu sedikit modifikasi. Hiduplah, tidak hanya seperti kau akan mati besok. Namun juga seperti orang tersayangmu akan pergi esok."


Selasa, 4 September 2018
Hari itu, saya merasa lega. Karena telah melepaskan satu kewajiban demi kebutuhan lainnya. Menemani Mama. Menurut saya adalah kebutuhan, bukan sekadar kewajiban. Sebab, saya membutuhkan doanya, ridhonya, dan juga cinta kasihnya. Di tengah riuh rendah dan juga air mata sambil sedikit kilas balik pertama bertemu, HP saya berdering. Hari yang tak akan pernah saya lupakan seumur hidup saya.


"Icha di mana? Pulang ke sini kapan?" "Besok keretanya Pakdhe." "Pulang sekarang ya, cari pesawat. Harus sekarang. Mamamu dipacu jantungnya."

Dunia seperti hancur. Bangunan ini serasa ambruk, menimpa seluruh kepalaku. Kakiku lemah. Tidak mampu menopang badan, lidahku kelu. Mataku tak kuat membuka. Hatiku hancur sehancur hancurnya. Rencana yang aku buat, untuk menemani Mama. Mengajarkan Mama kembali berjalan, menggerakkan sendi-sendinya, harapanku Mama mendampingiku saat saya memakai toga kembali hilang sudah. Saya berlari ke ruang manager dan menangis sejadi-jadinya. Tidak ada hal yang aku pikirkan selain, ya Allah katakan padaku bahwa ini hanya mimpi buruk. Sadarkan aku. Beberapa teman langsung memelukku erat. Menangis di antara jeritanku yang tak kunjung mereda.

"Ayok pulang, pesawat berangkat 2 jam lagi." Aku berjalan tergopoh-gopoh. Tiket pesawat terakhir. Bandung - Jogjakarta. Aku hanya membawa sebuah tas dengan isi dompet dan laptop. Tidak membawa sehelaipun pakaian. Otakku beku. Hatiku hancur. Dan aku menangis sejadi-jadinya.
Aku tahu, bahwa perihal kehilangan bukanlah permasalahan ikhlas ataupun tidak. Namun lebih dari itu. Ada luka yang tak bisa sembuh satu atau dua hari.

Dari pekerjaan sebelumnya, aku terlatih bagaimana tetap terjaga di tengah malam menemani Mama. Bercerita tentang kehidupanku, menyuapi, membuatkan berbagai makanan yang harus dijus, memijati, hingga hanya untuk mengelus kakinya saat Mama tidur. Pernah aku tertidur karena lelah perjalanan pagi, dan malamnya aku shift 3. Mama terbangun. Dan memintaku untuk tetap di sebelahnya. Duduk di kursi, mengelus pelan kakinya, dan tak boleh berhenti. Saat itu, tidur selama satu jam adalah kenikmatan. Tak ada yang aku keluhkan. Tak ada yang membuat berhenti melakukan itu. Sebab aku ingat, jika ini adalah waktu terakhirku menemaninya, akankah ini menjadi saat terindah baginya untuk dikenang?

Seminggu sebelum Mama pergi, aku izin balik ke Bandung. Mnyampaikan bahwa aku harus pulang. Sebab aku harus menyelesaikan pekerjaan yang terabaikan dan juga mengurus resign. Ada air mata di ujung matanya. Nafasku sesak. Aku terlalu cengeng untuk hal ini. Aku hanya ingin berbakti. Ada atau tidak ada Mama secara fisik.

Setidaknya, hari Jumat itu Mama tahu. Mama melihat. Bahwa aku memenuhi janjiku. Meninggalkan hal yang kucintai, demi Mama. Mama tahu, bahwa cinta untuknya akan selalu utama. Selalu utuh. Tak bisa kurang sedikit pun.

Melepaskan Zona (Ny)Aman
Hal lain yang menjadi pesan Mama adalah memintaku kembali ke Jogja. Saat itu, di tengah rasa sakit yang ia tahan, mama meminta "Besok Mbak kuliah lagi aja ya. Capek kan kalau kerja? Kerja lagi habis kuliah aja, ya! Kerjanya di Jogja. Soalnya Jogja dekat."


Entahlah, sejak dulu kami menganggap Jogja adalah separuh dari hati kami. Jadi, saat itu aku beranggapan bahwa Jogja memang tempat ternyaman bagi kami. Sekarang, aku baru tahu. Bahwa rumah Mama adalah 45-60 menit dari Jogja. Tempat Mama ingin sering dikunjungi. Ingin sering mendengarkan ceritaku, ingin sering dibacakan doa, ingin sering dapat melihat wajahku.

Sebelumnya, aku telah melewatkan beberapa panggilan kerja di Jogja. Sebab, ada pekerjaan lain yang sedang ditunggu. Salah satu hal yang diinginkan Mama. Menunggu selama kurang lebih 100 hari, mengantarkanku kembali pada air mata.

Memang, tidak bisa kita memastikan bahwa kehidupan akan selalu berpihak kepada kita. Tugas kita adalah minta selalu diberi kekuatan dan dimudahkan. Diberikan jalan. Dimaafkan segala dosa. Mungkin, ini janji yang belum bisa diwujudkan di 2017 dan 2018.

Meninggalkan rumah. Meninggalkan Ayah dan Adik adalah hal terberat lainnya. Dengan hati yang masing-masing masih belajar terbiasa, hati yang masih belajar mengeja, jiwa yang sedang berusaha dibangun agar tegar, kita kembali berjuang. "Enggak apa-apa. Kita sedang berjuang. Mbak berjuang untuk mewujudkan mimpi-mimpinya, yang ada mimpi-mimpi Mama di sana, dan Ayah yang berjuang dengan adek di sini." How I'm so blessed to have them.

Air mata yang tak kunjung mereda, perasaan campur aduk, dan ketakutan lainnya kini berkerumun. Terkadang, rasa takut dan kekhawatiran yang membuncah itulah yang perlahan membunuh kita. Yang menghambat kita jalan, bahkan lebih dari kegagalan itu sendiri. Jika tetap saja berada di zona nyaman, kapan mimpi itu akan terwujud? Kapan aku akan merapel mimpi-mimpi itu? Kapan? Kapan? Dan esok, di tahun 2019 mungkin air mata akan lebih sering jatuh, luka harus cepat diobati, jiwa harus lebih kuat, dan iman harus lebih tebal. Selamat berjuang aku. Kamu. Dan kita. Terima kasih telah berjuang selama 2018 ini. Ada banyak hal yang belum pernah kita jumpai. Kita jalani aja. Meski sakit, sulit, terseok-seok. Tahu tahu sudah akhir 2018 aja. Mungkin, esok akan seperti itu lagi. Hanya satu kata. Jalani saja.

02.02
31.12.18

Tidak ada komentar:

Posting Komentar