Senin, 30 Desember 2019

2019: Benar, Aku Sungguh Sudah Ikhlas

21.26.00 0 Comments

Tahun tak lain hanyalah deretan angka. Untuk memudahkan perhitungan terhadap waktu. Untuk memudahkan mengingat periode kejadian. Setelah di 2018 kita belajar akan suatu hal, maka di 2019 lebih memantapkan. Sungguh. Dari yang awal ragu untuk melepaskan akan semakin yakin untuk mengikhlaskan. Dari yang awalnya takut untuk pergi, menjadi semakin berani untuk meninggalkan. Dari yang awalnya suasah melupakan, menjadi semakin ikhlas merelakan.

Memang, di tahun ini kita semakin menyadari bahwa memang yang bukan milik kita tidak akan menjadi milik kita. Pekerjaan, tempat kuliah, cita-cita, bahkan perihal seseorang. Namun sebaliknya, akan semakin diarahkan di mana dan siapa saja yang akan menjadi milik kita. Sebahagia itu. Merelakan semua yang terjadi sesuai jalan Tuhan.

Terima kasih, 2019. Sungguh, aku sudah sangat ikhlas melepas. Aku sudah sangat rela pergi. Dengan ringan hati memaafkan. Ingatan akan tetap ada. Potongan cerita akan selalu ada. Setidaknya akan menjadi makna, akan menjadi apa kita selanjutnya. 

Semoga saja, segala lelah terbayar esok. Jika perlu, beristirahatlah. Tidak ada yang terlambat. Jangan tergesa. Kita semua sesuai porsinya. Terima kasih diri, sudah cukup kuat dan hebat sampai hari ini. 

Jumat, 06 September 2019

Tiga Ratus Enam Puluh Lima Hari

02.34.00 0 Comments
"Dek sudah pulang?"
"Iya ini mau ada acara di rumah."
"Loh acara apa?"
"Kirim doa untuk Mama."

Ternyata"jalani saja" membuat saya sudah berjalan sejauh ini. Tiga ratus enam puluh lima hari dengan berbagai macam cerita. Resign industri - gagal PNS - gagal kerja di Kalimantan - kerja di apotek - keterima ASDOS UMY - resign apotek - keterima ASDOS UAD - kuliah S2. Bukan saya yang sangathebat, tapi doa Mama dan Ayah saya yang menembus langit. Perjalanan ini sungguh memompa jantung. Melatih nafas, dan tentu saja menghabiskan banyak sekali air mata.




Memang merelakan adalah jalan terbaik untuk merayakan kepergian orang yang dicinta. Jatuhlah pada cinta dan bangunlah sebagai manusia yang berjalan di atas keyakinannya sendiri. Berlututlah pada keagungan. Bentangkanlah sayap saat seseorang menjatuhkanmu dari ketinggian—terbanglah seperti burung mencintai angin. Berjalanlah seperti seorang ayah yang menuntun lengan putrinya. Berbahagialah seperti anak-anak. Waspadalah seperti pertama kali belajar berjalan. Dengarkanlah nyanyian angin. Jadilah air hujan yang membawa kehidupan baru bagi tanah-tanah yang kering. Jadilah matahari yang berani terbit dan siap untuk tenggelam. Jadilah seseorang yang membuat dunia jadi berbeda. Jadilah dirimu sendiri!

Banyak sekali ketakutan yang dihadapi. Sendiri. Saat terbiasa bersamamu. Saat menganggap semua akan baik-baik saja selama ada Mama. Namun, masalah seberat apapun kini harus berani aku hadapi sendiri. Membantu menopang dan menyelesaikan masalah Adik, sebagai anak tertua. Serta terus menjaga dan memberikan semangat untuk Ayah. Harta berharga yang kini tertinggal.

Mama, rasa takut juga selalu membuat orang-orang sulit berubah. Celakanya, aku sering kali tidak tahu kalau hampir semua yang aku takuti hanyalah sesuatu yang bahkan tidak pernah terjadi. Aku seringkali gentar oleh sesuatu yang boleh jadi ada, boleh jadi tidak. Hanya mereka-reka, lantas menguntai ketakutan itu, bahkan aku bisa dengan tega menciptakan sendiri rasa takut itu, menjadikannya tameng untuk tidak mau berubah.

Jumat, 16 Agustus 2019

10.39.00 0 Comments
malam ini, hatiku jatuh sejatuh-jatuhnya
namun hancur sehancur-hancurnya
bagaimana bisa, kita jatuh sekaligus luka di dalam satu waktu?

nampaknya sering
berharap pada suatu masa
jatuh pada suatu bayang
yang sebenarnya dia tak pernah ingin bergerak mendekat
menoleh pun enggan

Kamis, 08 Agustus 2019

07.36.00 0 Comments


Nggak semuanya harus dilepaskan kan?
Bahkan sampai saat ini, semuanya masih dibawa kan? Dan semuanya masih baik-baik aja. Kamu ingat? Dan bahkan ternyata menjadi lebih baik :)
Ada banyak cerita dulu yang sudah terlewati untuk bisa jadi seperti sekarang, kan? 

Selasa, 06 Agustus 2019

10.42.00 0 Comments
kita adalah sepasang luka yang saling kehilangan. kemudian saling menemukan. dan berakhir pada saling mengobati. dan esok, kita akan menjadi saling dalam saling lainnya. luka parut dan carut-marut masing-masing yang saling bertemu dengan ketidaksempurnaan lainnya. laiknya planet, berputar pada sumbunya masing-masing. akibat gravitasi rasa ketertarikan, rasa saling mengasihi, dan rasa saling memiliki, masing-masing dari kita bertabrakan. hancur. melebur menjadi satu. aku dan kamu untuk menjadi kita. kita bertemu bukan hanya karena aku menerima segala yang ada padamu, namun aku lebih kepada mencintai semua kurangnya kamu.


10.36.00 0 Comments
janji yuk sama diri sendiri ga akan sedih gini lagi. ga akan kecewa dan nyalahin diri sendiri lagi gini. ga akan ngingat2 hal ini lagi sehingga bikin kamu sedih. siap?

Senin, 03 Juni 2019

Tidak Ada Ketupat Ramadhan Ini

20.50.00 4 Comments

Salah satu alasan untuk pulang ke rumah adalah memanggil nostalgia-nostalgia yang mungkin akan terlupa. Waktu terbaik untuk pulang adalah saat Lebaran. Semua berkumpul. Semua berbahagia. Namun bukan untuk aku. Kita akan mengalami hal-hal yang sama berkali-kali yang lama kelamaan menjadi kebiasaan. Setelah kita berhasil melewati fase "pertama kali". Ketakutan pertama kali naik pesawat sendirian, ketakutan pertama kali naik bus tanpa ac sendirian, dan ketakutan lain. Dan tahun ini, adalah pertama kali yang tak akan terlupa dalam kehidupan. Pertama kali lebaran tidak ada ketupat. Bukan. Bukan ketupat saja yang aku rindukan. Ada suara gaduh pagi-pagi yang kurindu, aroma sambel goreng kesukaan yang sedang mendidih, bau daging rebus yang begitu empuk, hingga suara lembut yang kini tak lagi kudengar. Kerinduan-kerinduan itu tidak hanya terjadi sekali. Tidak. Itu akan terjadi selamanya dalam hidupku. Selamanya. Sepanjang hidupku.

Penguatan akan rasa dan hati yang ternyata terlaku rapuh sebenarnya dimulai sejak Ramadhan hari pertama. Aku harus terbiasa dengan suara alarm yang begitu memekikkan telinga. Harus terbiasa makan sendiri di dalam kamar kos, tanpa ada suara orang rumah yang memanggil. Tanpa ada tempat bercerita. Walau hanya "hari ini sahur apa?". Oh hati, tolonglah untuk lebih kuat lagi.

Laiknya iman, kekuatan hati yang kumiliki masih mengalami fase farmakokinetika yang cenderung tidak stabil dan memiliki tingkat reaktivitas yang tinggi. Setelah sekian hari Ramadhan terlewati, kembali bisa menerima kebiasaan-kebiasaan baru . Namun, memang benar. Kita adalah sebaik-sebaik penjaga atas bahagia-sedih diri kita sendiri.

"Besok mau ke pasar sama Mama."
"Iya udah dibelikan baju sama Mama."
"Seneng pulkam. Ga sabar makan masakan Mama."

Sisi xenon dan kripton dalam diriku mencuat. Reaktivitasnya begitu tinggi. Kenangan-kenangan selama dua puluh empat tahun ini terkumpul. Saat sedih, segala kenangan dan memori itu dengan rapih akan tersusun. Membentuk lorong waktu yang menyesakkan. Entah atas memori kesedihan, ataupun sebuah kebahagiaan. Ada banyak hal yang perlu disyukuri dari sebuah memori. "Pernah". Itu sudah cukup.

Danau di pelupuk mata sudah menggelayut. Mataku berat. Pikiranku melayang. Otakku memanas memutar segala kejadian. Nafasku melemah. Oh hati, rindu macam apa ini?

Sekeras-kerasnya jiwa, ada titik lemah yang jika tersentuh sedikit saja maka akan pecah. Air mata yang telah mengumpul di kubangan, nafas yang ditahan, jeritan yang berusaha dibungkam. Semuanya keluar. Begitu saja. Memang ada hal-hal yang bisa kita ikhlaskan. Tetapi lukanya masih sangat dalam menganga dan sakitnya susah hilang. Kehilanganmu, misalnya.

Jika tahun ini dan juga tahun-tahun berikutnya tidak akan lagi ada ketupat, tolonglah untuk lebih kuat. Aku mohon. Meski berat, segalanya memang harus dilepaskan. Harus diantarkan. Ada banyak hal lain yang harus kamu kerjakan. Kamu selesaikan, dan kamu wujudkan. Masihkah teringat dalam memori sawar otakmu akan permohonan-permohonan itu? Permohonan yang lembut mengalun, mungkin akan berat untuk dilakukan. Tapi bukankan ini namanya perjuangan?

Sebab, waktu tak akan menghapus yang hati simpan. Siapa berjuang dengan sepenuh hati, tidak akan pulang dengan penyesalan. Meski patah.

Selamat berlebaran, Mah. Aku menukiskannya dengan jemari yang bergemertak, tubuh gigil, dan pipi yang begitu sembab. Aku akan tetap menemanimu. Seperti janjiku.

Semarang, 4 Juni 2019.
Sedang ingin balik ke P.Bun
Namun mungkin tak kujumpai lagi senyum itu.