Minggu, 30 Desember 2018

2018: Trisula Kerelaan

09.37.00 0 Comments

Titik tertinggi itu bernama kerelaan. Me·re·la·kan v memberikan dengan ikhlas hati; melepaskan (menyerahkan) dengan tulus hati. 2018 mungkin adalah puncak jatuh bangun kehidupanku hingga saat ini. Tak menutup kemungkinan tahun-tahun lainnya akan lebih berat. Karena kita tengah menghadapi kesulitan-kesulitan, menampung air mata sebab mempersiapkan hal lain yang lebih besar daripada itu. Lebih susah daripada itu.

Melepaskan Pekerjaan
Menjadi seorang fresh graduate dengan obsesi tinggi dan mimpi yang telah tersusun rapi seringkali membuat kita menjadi seseorang yang idealis. Ingin kerja di sini dan di sini. Sebagai ini atau ini. Dan banyak sekali standar tinggi yang ditetapkan. Mendapatkan pekerjaan sesuai keinginan, yang membuat kita bahagia adalah sebuah mimpi yang menjadi nyata. Pemanasan ujian besar sudah dilakukan sejak awal kerja. Lewat kerja 3 shift, saya belajar bagaimana tetap terjaga di tengah malam, bagaimana tak pernah terlupa untuk sholat malam, bagaimana tetap berfikir cepat dan rasional di tengah malam, dan juga tepat waktu untuk Sholat Subuh. Lewat kerja team saya belajar bagaimana komunikasi, mencari penyelesaian masalah secara tepat dan cepat, bagaimana belajar mendengar keluhan, bagaimana memberi jarak antara urusan pribadi dan urusan pekerjaan. Lewat pekerjaan ini pula bagaimana saya belajar menjadi seorang pemimpin untuk membawa tim, untuk memberikan contoh, tanpa melihat bagaimana fisik yang dimiliki.

Sabtu, 22 Desember 2018

05.07.00 0 Comments

Ada wanita, yang tetap saja memelihara luka-lukanya demi seseorang yang dia suka. Ada banyak orang di luar sana yang menungguinya, namun ia tak pernah ingin untuk memilikinya. Diselanya darah yang menetes sendiri, ditutupnya luka atas harap yang tak terbalas, ditahannya penuh lirih perasaan yang tak kunjung berbalas itu. Dia menikmati lukanya, kesedihannya, serta penantiannya yang tak kunjung terbalas. Dia, wanita yang mencintai luka-lukanya.


Jumat, 07 Desember 2018

Jakarta

22.04.00 0 Comments
Jakarta, Agustus 2017

Kenapa lo pindah Jakarta?
Nggak sengaja. Gue iseng daftar UI buat ngisi waktu luang masuk Apoteker. Eh keterima.
Nggak ada kampus lain lo coba?
Ada. ITB. Sehari sebelum pengumuman UI. Gue depresi banget nggak lolos. Kecewa sama diri sendiri.
Terus pas lo keterima di sini?
Seneng. Tapi gue ngerasa nggak sanggup.
Enakan di Jogja kan? Gue pengen pindah dari Jakarta. Menikmati pantai, laut, hutan, kebun. Di sini gue cuma liat asap, macet, sama mall.
Ehe. Jalanin aja dulu apa yang kita punya sekarang.
Iya. Lo semangat ya! Gue juga pas awal-awal kuliah di UI stress banget. Sekarang mah, bawa happy aja. Tinggal setahun kok!
Hehe. Iya. Yuk cabut!

Terhadap apapun yang belum Tuhan berikan. Tak usah kau mengutuki nasib. Itu bukan hukuman untukmu para penabung dosa. Itu adalah tanda bahwa Dia tahu apa yang kamu butuhkan. Dia menjagamu dari orang yang salah, Dia menghindarkanmu dari tempat yang belum tentu baik untukmu. Lalu Dia memberikan kejutan lain. Yang membuatmu merasa lebih bersyukur.

Jangan pula kita penuh percaya diri. Bahwa cobaan kita sendiri yang jauh lebih susah dibanding lainnya. Jangan terlalu mudah berbangga akan hal itu.

Jakarta. Tempat yang menjadi tujuan banyak manusia. Kota tempat cita digantungkan. Kota dengan gemerlap kota dan kesibukan yang tak henti berlalu lalang.

Mengeluh secukupnya. Bersyukur sebanyak-banyaknya. Bisa saja keisengan yang tidak sebgaja itu adalah suatu jalan untukmu menjadi lebih dari dirimu sebelumnya. Segala peluh di kota ini tak akan selesai hanya dengan mengeluh.

Saat itu, benar-benar setengah mati berlarian di antara desakan pengguna KRL, berdiri tegar di dalam busway yang macet, dan yang paling penting menjadi bersinar di antara pendar lampu gedung-gedung Ibu Kota.

Rasa lelah, tak sanggup, ingin menyerah adalah rasa yang pernah menghinggapi saat menjalani rutinitas. Berulang. Terjadi setiap hari. Yang dapat dilakukan hanya dua kata: Jalani Saja.

Nyatanya kini, kita sudah berada jauh di depan. Meninggalkan segala keluh dan peluh di Ibu Kota. Kita sudah bisa mengucapkan selamat tinggal dan berbangga atas kerja keras saat itu.

Jalani saja. Mengeluh secukupnya. Lalu, tengoklah ke belakang. Aku sudah menyelesaikannya. Aku bangga akan hal itu. Semuanya akan berlalu. Bahwa semuanya akan menjadi kenangan. Jakarta... Mungkin aku rindu.

Bandung

21.44.00 0 Comments

Hai, weekend masuk nggak?
Enggak nih. Proses udah beres
Ada acara nggak?
Ada.
Hah, apa?
Mau ngajak kamu main ke lembang.


Seringkali, hal yang menjadi pemberat untuk meninggalkan sesuatu adalah kebiasaan. Kebiasaan yang terulang kemudian jadi kenangan. Deretan foto di galery handphone, tumpukan karcis wisata yang lusuh di dompet, hingga warna baju yang tercampur lumpur, getah pohon, ataupun terkena percikan makanan.
Lalu, ada kerinduan lain yang terbesit saat tidak lagi menjadi bagian dari Gedung Abu itu. Merelakan jam tidur yang benar-benar tidak terpakai. Berjaga malam hingga pagi, lalu mandi dan menikmati keindahan alam hingga malam menjelang lagi.

Terkadang, pertemanan muncul sebab adanya kepentingan-kepentingan. Bahagia dan saling mengerti timbul sebab adanya ikatan emosi. Tanpa banyak kata, tanpa banyak ingin, mereka tahu tentang apa yang kita rasa. Mereka menjelma menjadi diri kita di sisi yang berbeda.
Tumpukan Batch Record, deretan CAPA, segudang masalah di kantor. Seringkali menjadikan kita terbiasa bersama dalam masalah-masalah. Menjadikan kita lebur. Untuk menjadi satu dalam emosi.

Entahlah di malam itu, Bandung yang sedang hujan lebat-lebatnya membuatku merasa hangat. Oleh pelukan mereka. Oleh kehangatan senyum mereka. Dan tentu saja cerita-cerita yang menyentuh hati.

Semoga besok atau lusa, kita bisa kembali bertemu. Aku tahu, kita tak akan sama lagi seperti dulu. Tapi, kita saling memiliki sepasang bahu untuk tempat mengadu.