Senin, 03 Juni 2019

Tidak Ada Ketupat Ramadhan Ini

20.50.00 4 Comments

Salah satu alasan untuk pulang ke rumah adalah memanggil nostalgia-nostalgia yang mungkin akan terlupa. Waktu terbaik untuk pulang adalah saat Lebaran. Semua berkumpul. Semua berbahagia. Namun bukan untuk aku. Kita akan mengalami hal-hal yang sama berkali-kali yang lama kelamaan menjadi kebiasaan. Setelah kita berhasil melewati fase "pertama kali". Ketakutan pertama kali naik pesawat sendirian, ketakutan pertama kali naik bus tanpa ac sendirian, dan ketakutan lain. Dan tahun ini, adalah pertama kali yang tak akan terlupa dalam kehidupan. Pertama kali lebaran tidak ada ketupat. Bukan. Bukan ketupat saja yang aku rindukan. Ada suara gaduh pagi-pagi yang kurindu, aroma sambel goreng kesukaan yang sedang mendidih, bau daging rebus yang begitu empuk, hingga suara lembut yang kini tak lagi kudengar. Kerinduan-kerinduan itu tidak hanya terjadi sekali. Tidak. Itu akan terjadi selamanya dalam hidupku. Selamanya. Sepanjang hidupku.

Penguatan akan rasa dan hati yang ternyata terlaku rapuh sebenarnya dimulai sejak Ramadhan hari pertama. Aku harus terbiasa dengan suara alarm yang begitu memekikkan telinga. Harus terbiasa makan sendiri di dalam kamar kos, tanpa ada suara orang rumah yang memanggil. Tanpa ada tempat bercerita. Walau hanya "hari ini sahur apa?". Oh hati, tolonglah untuk lebih kuat lagi.

Laiknya iman, kekuatan hati yang kumiliki masih mengalami fase farmakokinetika yang cenderung tidak stabil dan memiliki tingkat reaktivitas yang tinggi. Setelah sekian hari Ramadhan terlewati, kembali bisa menerima kebiasaan-kebiasaan baru . Namun, memang benar. Kita adalah sebaik-sebaik penjaga atas bahagia-sedih diri kita sendiri.

"Besok mau ke pasar sama Mama."
"Iya udah dibelikan baju sama Mama."
"Seneng pulkam. Ga sabar makan masakan Mama."

Sisi xenon dan kripton dalam diriku mencuat. Reaktivitasnya begitu tinggi. Kenangan-kenangan selama dua puluh empat tahun ini terkumpul. Saat sedih, segala kenangan dan memori itu dengan rapih akan tersusun. Membentuk lorong waktu yang menyesakkan. Entah atas memori kesedihan, ataupun sebuah kebahagiaan. Ada banyak hal yang perlu disyukuri dari sebuah memori. "Pernah". Itu sudah cukup.

Danau di pelupuk mata sudah menggelayut. Mataku berat. Pikiranku melayang. Otakku memanas memutar segala kejadian. Nafasku melemah. Oh hati, rindu macam apa ini?

Sekeras-kerasnya jiwa, ada titik lemah yang jika tersentuh sedikit saja maka akan pecah. Air mata yang telah mengumpul di kubangan, nafas yang ditahan, jeritan yang berusaha dibungkam. Semuanya keluar. Begitu saja. Memang ada hal-hal yang bisa kita ikhlaskan. Tetapi lukanya masih sangat dalam menganga dan sakitnya susah hilang. Kehilanganmu, misalnya.

Jika tahun ini dan juga tahun-tahun berikutnya tidak akan lagi ada ketupat, tolonglah untuk lebih kuat. Aku mohon. Meski berat, segalanya memang harus dilepaskan. Harus diantarkan. Ada banyak hal lain yang harus kamu kerjakan. Kamu selesaikan, dan kamu wujudkan. Masihkah teringat dalam memori sawar otakmu akan permohonan-permohonan itu? Permohonan yang lembut mengalun, mungkin akan berat untuk dilakukan. Tapi bukankan ini namanya perjuangan?

Sebab, waktu tak akan menghapus yang hati simpan. Siapa berjuang dengan sepenuh hati, tidak akan pulang dengan penyesalan. Meski patah.

Selamat berlebaran, Mah. Aku menukiskannya dengan jemari yang bergemertak, tubuh gigil, dan pipi yang begitu sembab. Aku akan tetap menemanimu. Seperti janjiku.

Semarang, 4 Juni 2019.
Sedang ingin balik ke P.Bun
Namun mungkin tak kujumpai lagi senyum itu.