Sabtu, 11 Maret 2017

saya pernah melewati masa-masa setiap malam hanya nangis dan tidak bebruat apa-apa. setiap pagi,siang, hingga sore tidur karena semalaman lelah menangis. namun saya sadar, bahwa asa, mimpi, dan tujuan saya harus segera direalisasikan.

sudah setahun lalu saya memikul gelar dan nama baru. tambahan S.Farm. di bagian akhir nama yang tentu saja bukan akhir dari segalanya. ups and downs selama mengerjakan tugas akhir S1 yang pada saat itu ingin membuat saya menyerah. namun jika saya menyerah, keadaan akan bertambah buruk. sia-sia apa yang telah dilakukan selama lebih kurang 3 tahun beberapa bulan itu.

hal pertama adalah masalah akademis. beberapa kali saya harus mengganti judul. bukan hanya judul, namun isi skripsi. sekitar 5 atau 6 folder calon skripsi yang sudah sampai pada bab 3 dan harus dirombak banyak karena penyesuaian dengan lab yang akan dipakai, penyesuaian dengan keinginan dosen proyek ((pada saat itu ikut proyek)) ataupun karena mengajukan dosbing tapi selalu ditolak.

untuk ai mata yang selalu mengalir di tiap sujud panjang, saat itu saya membutuhkan dosen yang bisa sesuai dengan yang saya inginkan karena beberapa hal, namun tetap saja saya tidak mendapatkan dosen pembimbing jua. salah satu alasannya saat saya menanyakan mengapa buku saya belum di-acc adalah: buku saya tidak ada di meja registrasi. aneh. padahal seharian saya melihat buku itu dan menunggui pengumuman nama itu terpampang.

di luar konteks akademis, ada hal lain yang membuat air mata selalu meraung-raung dan fisik yang semakin melemah: kehilangan salah satu support system sekunder. menurut saya, support system primer tetaplah kedua orangtua. karena merekalah yang selalu mendidik saya untuk berdamai pada diri sendiri, terlebih pada keadaan.

kehilangan hadir pada saat kita tidak siap untuk melepaskan


mungkin benar. saat itu saya tengah bersama orang yang benar-benar mengisi penuh daya dan semangat hidup saya. terlebih dia selalu ada cara untuk (saling) membantu menyelesaikan tugas akhir. terlebih dia memang seharusnya telah menyelesaikan masa S1nya terlebih dahulu ketimbang saya.

saat rasanya belum ingin bangun dari mimpi di malam hari, saya diberi realita indah di pagi hari. menjelejahi semua tempat di Jogja. mencari suasana untuk berdamai pada tugas akhir yang memerlukan banyak sekali energi.

saat begitu indah dan begitu berartinya hidup yang saya jalani, setelah menyelesaikan masa S1-nya dengan air mata dan keringat bercucuran, ikut deg-degan di ruang sidang dan revisi serta tidur di perpus dan lab bersama dia menikmati buah manis perjuangannya selama 4,6 tahun dengan wanita lain.

saat saya masih harus menyelesaikan separuh lagi waktu penelitian, saya kehilangan salah satu penyangga saya. terasa begitu berat. saya menjalani segalanya senndirian. terseok-seok. setiap penelitian, saya selalu menggunakan lebih dari 1 masker, untuk memastikan bahwa tak ada satu orang pun yang melihat saya menangis. saya semakin gila penelitian. saya benar-benar tidak lagi mempedulikan jam yang seharusnya diperbolehkan untuk penelitian di lab.

tujuan saya satu: ingin segera lulus. karena obat patah hati terbaik selain memaafkan adalah menunjukkan prestasi yang kita miliki.

well, saya mengalami traumatik dengan dia dan seseorang yang kini mendampinginya. selain diteror di sosial media, di kehidupan nyata pun. saya menjadi insecure dengan tempat-tempat ramai. saya tidak berani pergi sendirian. untungnya sahabat-sahabat saya selalu ada dan menyempatkan diri di tengah kuliah-penelitian yang berbeda jadwal dan lab. mereka sampai-sampai harus men-skrinning tempat yang akan dikunjungi. hingga saya merasa aman.

di tengah kekuatan saya untuk menghindar dan melupakan semuanya -dengan menyibukkan penelitian- dia datang kembali. untuk meminta maaf, untuk menanyakan mengapa saya berubah. mungkin dia pada saat itu sedang dehidrasi, sehingga tidak bisa berfikir atau mungkin dia sedang bermain sulap -muncul, lalu menghilang lagi-.

saya rasa wanita mampu berdiri dan berjuang sendiri tanpa pria, namun tidak untuk pria. 
(dalam konteks hal piyik beginian)

mungkin karena masih saling membutuhkan kami kembali menjadi penduduk paling bahagia di dunia. dengan konteks yang berbeda, melanjutkan sekolah dan melanjutkan mimpi. sementara saya masih berkutat dengan skripsi saya.

air mata, kantung mata menahan kantuk, nginep di perpus, cafe full WiFi, lab dan banyak tempat yang menjadi tempat "tidur" singkat kami telah banyak dijelajahi. sudah bisa ditebak dari awal, bahwa saya hanya menemani dia untuk berjuang. bukan untuk menikmati indahnya hasil perjuangannya :))

fractura hepatica kembali mengalami krisis berkepanjangan. saya berdamai dengan diri sendiri dan memutuskan untuk pindah dari Jogja untuk melupakan segala kenangan yang pada saat itu benar-benar menjadi trauma. mengikuti jejak Keraa Sakti mencari kitab suci ke Bagian Barat: Jakarta. 

rasa sakit hati saya terbalaskan dengan dipindahkannya saya ke tempat yang lebih indah dari sebelumnya. saya telah bahagia menjalani hidup saya yang baru. pun dia yang telah lebih dahulu bahagia dengan hidup (yang bersama kami bangun mimpinya) dari 4.444 km dari tempat saya berada saat ini dengan jarak layar hand phone dengan wanita lain yang mencicipi bahagia dan bangga atas prestasinya.

jangan berkata bahwa kau adalah teman berjuangnya, bisa saja dia berusaha lebih keras saat dia tidak bersamamu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar