Selasa, 15 Juli 2014

Ode Dua Boneka Goni

Originated by Risa Umari Yuli Aliviyanti



Nampaknya semarak Art Jog di Kota Yogyakarta ini menggemparkan berbagai bagian Negara Indonesia tercinta ini. Tak terkecuali diriku yang selalu saja menyibukkan diri di dalam laboratorium ceria. Sore ini, saat kaki langit kemerahan, kusempatkan untuk mengunjunginya. Bangunan tua kokoh yang kaya akan histori dan seni.
            Di bagian depan gedung Taman Budaya Yogyakarta (TBY) ini aku disambut dengan deretan boneka goni. Aku sedikit tak mengerti tentang apa makna boneka-boneka goni ini. Ada yang berkepala binatang, badan porak-poranda, ataupun bentuk lain yang aneh. Lalu, di bawah teduhan beringin yang rimbun aku bertemu dengan seorang kakek tua yang menikmati barisan boneka-boneka goni itu. Mungkin ia cukup paham dengan barisan boneka ini.
            “Permisi, mbah!” Sapaku sedikit takut.
            Kakek tua itu tak menjawab. Tidak juga mengangguk. Menoleh pun tidak juga.
            Apakah ia bisu? Apakah ia tuli? Entahlah. Seakan ia tahu apa yang aku pikirkan, ia menoleh sambil tersenyum. Melirik tikar lusuh di kirinya. Memintaku duduk di sebelahnya tanpa banyak tanya.
Mbah, bolehkah saya bertanya?”
Lagi-lagi ia tak menjawab. Tak mengangguk. Bahkan menoleh pun tidak.
“Adalah ode suci yang mengaung-ngaung di angkasa. Keluar di antara lubang-lubang pilu pesakitan sejati. Entah apa kidung yang disampaikan. Entah apa fitnah yang ia pupuk dan tanam.”
Pria renta itu berdeklarasi. Membacakan tulisan pada secarik kertas miliknya yang sudah usang dan menguning.
“Aku tak mengetahui sedikit pun tentang sastra. Entah apa yang ia katakan. Yang ada dipikiranku adalah aku harus sesegera mungkin memberinya obat penenang seperti benzodiazepine. Atau butuh sedikit injeksi untuk menidurkannya. Aku pikir dia sedikit tidak waras. Aih, busuk sekali pikiranku.
Lagi-lagi ia seperti seorang peramal. Mengetahui apa yang sedang aku pikirkan akan dirinya. Ia tersenyum kali ini. Menatapku tajam. Sementara aku? Tubuhku bergetar hebat. Aih, apakah aku mengalami tremor?

Ia kembali sibuk menulis beberapa baris sajak di kertas kuningnya yang usang itu. Aku mengamati deret boneka goni di halaman Art Jog ini. Masih tak mengerti. Mengambil beberapa foto dengan kamera gadget-ku. Kucoba memahaminya benar-benar. Tak juga kumengerti. Saat aku ingin melihat boneka-boneka goni itu lebih dekat, ia mencegahku. Melirik sisi kirinya, lagi. Aku paham.
“Dari banyak boneka goni itu, hanya dua yang paling menonjol. Kau melihatnya?”
Segera aku menggeleng.
“Aih, dasar anak muda yang tak peduli pada seni dan histori, kau.” Ejeknya.
Aku mendengus kesal.
“Keduanya saling melirik tajam. Memperhatikan kesalahan sebiji sawi milik masing-masing lawan. Padahal? Yah, kau tahu bahwa lagi-lagi gajah di pelupuk mata tak pernah terlihat,” katanya geram.
“Kau sendiri, apakah masih bingung tentang arah tujuan Indonesia ke depannya?” tambahnya ingin tahu.
“Hehehe sejujurnya sih iya. Nggak tahu mau milih yang mana.”
“Coba kamu perhatikan di media massa! Banyak sekali perdebatan mengenai sebiji sawi yang digajahkan itu. Tidak bisakah mereka menerima keduanya sebagai selayaknya boneka goni?”
“Boneka?” Tanyaku terkejut.
“Boneka yang tergerak atas dasar kekuasaan dan demokrasi.”
“Apa yang membedakan keduanya?”
“Tidak ada! Kita hanya diminta memilih yang terbaik dari yang terburuk.”
“Satu boneka itu digerakkan oleh jubah hitam. Sementara yang satunya? Carut marut akibat ulah masa lalunya. Satu boneka bertindak sebagai konseptor, sementara lainnya sebagai problem solving. Rasanya keduanya saling melengkapi. Agak pincang jika terpisah seperti ini.” Tambahnya.  
“Bukankah masa lalu adalah sejarah dan kita hidup untuk masa kini dan masa yang akan datang? Lalu, buat apa tetap memandang masa lalu menjadi sebuah patokan?”
“Nah itulah masalahnya! Kau tak bisa membungkam lubang-lubang pilu pesakitan sejati itu. Mereka berjanji jiwa raga hidup mati mereka untuk menjadi pesakitan sejati. Aih, seperti sebuah pemaksaan dukungan.”
Aku terdiam. Mencoba mengingat beberapa kejadian yang aku tonton di televisi. Hal-hal sepele sangat dipermasalahkan. Benar kata kakek ini, menggajahkan sebiji sawi. Mulai dari kertas yang tersembul di sudut jas hitam nan gagah itu, ketidaktahuan mengeni suatu singkatan, masalah kuda, atau pun masalah status perkawinan. Hai, aku ora urus! Seperti sedikit muak menyaksikan sebiji sawi yang menggajah itu.
Rasa-rasanya hanya masyarakat berlantai lempung yang tak tahu panasnya dunia maya. Sana-sini beradu perang membahas kedua boneka goni itu. Sama saja semuanya. Saling menyanyikan ode kidung pada altar-altar suci yang ia nodai sendiri. Dan sekali lagi, mereka menggajahkan sebiji sawi. Mereka tak tahu apa-apa. Mereka hanya paham oleh salah satu. Mungkin seperti amplop-amplop di sudut pintu bambu. Mungkin. Nah, kan aku tertular virus menggajahkan sebiji sawi itu.
Aku semakin tak mengerti apa yang pria tua ini katakan. Seperti selembar resep dokter tua yang harus aku terjemahkan sendiri. Harus aku pahami sendiri. Meracik obat sendiri. Dan memberinya kepada pasien sendiri pula. Lalu, apa yang terjadi jika aku salah menafsirkan? Bukan saja orang itu yang akan  hilang, namun aku juga akan hilang. Tersia namaku saja pada headline surat kabar. Mengalahkan pesona kedua boneka goni itu.
“Apa kau masih pusing tentang kedua boneka goni itu? Hanya boneka goni saja. Buat apa kau memikirkannya begitu dalam?”
“Tapi, aku peduli pada tanah surga ini. Sebut saja mereka berdiri di tanah Yogyakarta. Aku berdiri di tanah Yogyakarta. Kami sama, kan? Bagian dari Yogyakarta?” Tanyaku mengelak.
“Ya, memang begitu. Hanya bedanya pada kepuasan. Kau puas dengan dirimu yang berbau etanol, parasetamol, atau bau mencit-mencit di gedung petinggi sana. Semenatara ia? Ia memiliki kendali atas semuanya. Ia ingin memiliki kendali atas apa-apa yang kita baui. Mungkin, kelak ia juga akan menjadi peternak mencit-mencitmu di laboratorium. Hahaha,” kakek tua itu kembali tertawa.
Aku mengalami nausea. Semua isi kepala dan perutku ingin keluar. Otakku memanas. Sudah lelah perlahan-lahan mengartikan kata-kata kakek renta ini.
“Sudahlah. Tak usah terlalu kau pikir panjang masalah dua boneka goni ini! Apalagi menganai ode kidung para pengikutnya. Ayolah, kita hanya perlu sedikit berdamai! Menerima dua boneka ini selayaknya boneka. Eh, boneka berotak maksudku. Buat apa kau berlomba-lomba menyulap sebiji sawi itu menjadi gajah? Salah satu dari mereka akan memegang kendali atas apa-apa yang kau baui.”
Aku terdiam. Brusaha menerjemahkan tiap kata yang keluar dari mulutnya.
“Maukah kau menjadi akar rumput yang menopang pendusta? Penopang atas dahan yang menipu dirimu? Maukah kau menopang pencitraan yang menjuntai tinggi tanpa ada buah? Hidup dari air-air ludah yang kembali kau jilat?”
Jijik rasanya menjilati ludah sendiri yang sudah dibuang. Aih. Benar saja lidah tak bertulang ini seperti samurai. Banyak kulihat banyak kehilangan teman ataupun rasa simpati antar teman, hanya karena mereka menjagokan boneka goni yang berbeda. Lebih indah. Lebih baik. Lebih berisi. Lebih rupawan. Lebih lihai memacu kuda. Aduh, apalah ini? Perjuangan yang sebenarnya tak penting untuk diperdebatkan. Abab mereka mengaku politikus, aktivis, atau cendikiawan. Aih. Namanya juga abab.
“Ayolah! Berhenti saja menggajahkan sebiji sawi itu! Kepercayaan dan hentian lubang fitnah membuat para goni itu berubah. Ia dapat menjadi seorang pemikir, seorang konseptor, problem solver. Ia dapat menjadi lebih arif dan bijak. Seperti….Hujan di bulan Juni.”
Lamunanku hilang saat aku mendapati seorang petugas menyuruhku beranjak pulang. Langit telah kelam. Muram mungkin menyaksikan kedua goni yang masih saja bersulut lidah.

2 komentar:

  1. Aduh chaaaaaaa udah lama gak baca tulisan kamu, tambah puitis dan sastrais atau entahlah apapun ungkapannya.
    Kakak menikmati banget ngebaca postingan kamu ini, suka banget pokoknya te o pe! XD

    BalasHapus