“It hurts because it matters”
Dalam mitologi Yunani
kuno, ada dewa-dewa yang dipercaya mengendalikan alam semesta. Satu
diantaranya, Poseidon sang penguasa laut, sungai dan danau. Poseidon
punya senjata khas berupa trisula yang konon bisa meluluhlantakkan bumi
saat dipukulkan.
Secara harfiah, trisula berarti tiga tombak.
Sesuai dengan bentuknya yang mirip garpu besar dengan tiga ujung lancip.
Kita bisa menjumpai “trisula” lewat lisan seseorang. Bentuknya berupa
tiga pertanyaan sederhana yang menancap dan kerap mengusik emosi.
Persoalan-persoalan ini akrab sekali dengan momen reuni.
1. “Kapan nyusul?”
Kata tanya kapan masih kedengeran oke sampai kita berusia 20-an. Dari saat itu, kapan punya rasa yang berbeda dengan apa, gimana, dimana, siapa dan kenapa. Terlebih lagi waktu ditanya di acara nikahan, maknanya jadi kapan nikah? Coba tanyain kapan nyusul? ke anak SD kelas satu. Dijamin, bikin bengong.
Kita
yang ditanya, cengengesan sambil garuk belakang kepala. Dikiranya di
belakang kepala ada jawaban. Tapi ternyata enggak. Supaya aman, kita
menggulirkan kembali bola panas sama si penanya. Seberes topik
pernikahan, kelak akan muncul kapan nyusul-kapan nyusul lain yang enggak ada habisnya.
Nyatanya,
nikah beda dengan Moto GP dan kita bukan Rossi. Kenapa harus
salip-menyalip
kalau garis akhirnya beda? Kalau anak tetangga nikah ahad
pagi, kita enggak harus nikah tiga milidetik setelahnya. Toh setiap
orang punya ikhtiar tersendiri untuk menyegerakan. Setiap orang punya
takdirnya masing-masing.
2. “Kok gemukan?”
Obrolan
seputar kegemukan masih membahagiakan sampai kita balita. Waktu masih
balita, gemuk sama dengan sehat. Kita hepi pas montok sebadan-badan,
dulu. Enggak tau siapa yang memelopori topik angka timbangan sebagai
pembuka obrolan. Patokan utama, apalagi kalau bukan volume pipi dan
lengkung derajat perut di balik kemeja.
Kita yang disinggung kok gemukan? cuma bisa menimpali singkat “iya nih”. Ya,
gimana. Menggemuk kan hak asasi manusia. Kalau memang disengaja, enggak
masalah. Konsep. Kalau enggak disengaja, baru deh masalah. Bisa jadi
karena aktivitas yang mewajibkan banyak duduk, jarang berolahraga atau
jadwal makan yang berantakan.
Saya pernah nonton Sarah Sechan waktu lagi diwawancara di layar kaca. Ada pernyataan “Saya
heran sama budaya kita. Suka banget ngomentarin fisik orang yang udah
lama enggak ketemu. ‘Gemukan, ya?’. Emangnya enggak ada bahasan lain?”
3. “Kerja dimana?”
Buat
saya, kalimat ini kerasa pas saat ditanya sama mereka yang bekerja dan
berstatus pegawai. Sayangnya enggak semua orang begitu, ada yang
menggeluti bidang nirlaba atau ngembangin bisnis sendiri. Enggak heran pickup line ini jadi yang terpopuler sejak kita selalu pengen tau latar belakang seseorang lewat mata pencahariannya.
Saya pernah nanya sama seorang rekan dan langsung kikuk saat dijawab “Nganggur nih, masih nyari”. Ups, salah. Di kejadian kedua, saya ditanggapi “Kenapa semua orang nanya gitu, ya? Gw enggak kerja, gw peneliti”. Dari situ, saya sadar kalau enggak semua orang nyaman dengan pertanyaan kerja dimana? Saya pun merevisinya dengan kesibukan sekarang apa? karena siapapun pasti punya kesibukan walau enggak bekerja.
“Words can inspire. Words can destroy. Choose yours well”
“Trisula”
lisan bisa melukai hati karena alasan yang hadir di belakangnya
berpengaruh besar untuk sebagian orang: jodoh, penampilan dan karir.
Ketidaknyamanan atas tiga pertanyaan klasik ini jadi hal tabu yang
jarang mengemuka. Sepele, tapi penting.
Setiap orang akan menikah
pada waktu-Nya sejak enggak ada yang tau persis kapan
peristiwa-peristiwa penting terjadi di hidup kita. Setiap orang akan
menggemuk atau mengurus pada waktunya sejak enggak ada yang pernah tau
kapan pola hidup berubah. Setiap orang akan gemilang dengan cara-Nya
sejak enggak ada yang pernah tau kemana takdir akan berarah.
Ada
sejuta cara mengawali obrolan di momen reuni. Berbasa-basi enggak harus
basi karena kesantunan tetap harus diutamakan semenjak yang kita temui
adalah makhluk berperasaan. Maka, berkatalah saat memang harus. Lebih
baik diam saat ucapan dirasa enggak berdayaguna. Alasannya sederhana.
Luka akibat kata-kata lebih menyengsarakan dibandingkan tertusuk trisula.
Reblog from : Kak Satria
Senin, 28 Desember 2015
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar