Nampaknya
semarak Art Jog di Kota Yogyakarta
ini menggemparkan berbagai bagian Negara Indonesia tercinta ini. Tak terkecuali
diriku yang selalu saja menyibukkan diri di dalam laboratorium ceria. Sore ini,
saat kaki langit kemerahan, kusempatkan untuk mengunjunginya. Bangunan tua
kokoh yang kaya akan histori dan seni.
Di bagian depan gedung Taman Budaya
Yogyakarta (TBY) ini aku disambut dengan deretan boneka goni. Aku sedikit tak
mengerti tentang apa makna boneka-boneka goni ini. Ada yang berkepala binatang,
badan porak-poranda, ataupun bentuk lain yang aneh. Lalu, di bawah teduhan
beringin yang rimbun aku bertemu dengan seorang kakek tua yang menikmati
barisan boneka-boneka goni itu. Mungkin ia cukup paham dengan barisan boneka
ini.
“Permisi, mbah!” Sapaku sedikit takut.
Kakek tua itu tak menjawab. Tidak
juga mengangguk. Menoleh pun tidak juga.
Apakah ia bisu? Apakah ia tuli?
Entahlah. Seakan ia tahu apa yang aku pikirkan, ia menoleh sambil tersenyum.
Melirik tikar lusuh di kirinya. Memintaku duduk di sebelahnya tanpa banyak tanya.
“Mbah,
bolehkah saya bertanya?”
Lagi-lagi ia tak menjawab. Tak mengangguk.
Bahkan menoleh pun tidak.
“Adalah ode suci yang mengaung-ngaung di
angkasa. Keluar di antara lubang-lubang pilu pesakitan sejati. Entah apa kidung
yang disampaikan. Entah apa fitnah yang ia pupuk dan tanam.”
Pria renta itu berdeklarasi. Membacakan
tulisan pada secarik kertas miliknya yang sudah usang dan menguning.
“Aku tak mengetahui sedikit pun tentang
sastra. Entah apa yang ia katakan. Yang ada dipikiranku adalah aku harus
sesegera mungkin memberinya obat penenang seperti benzodiazepine.
Atau butuh sedikit injeksi untuk menidurkannya. Aku pikir dia sedikit tidak
waras. Aih, busuk sekali pikiranku.
Lagi-lagi ia seperti
seorang peramal. Mengetahui apa yang sedang aku pikirkan akan dirinya. Ia tersenyum
kali ini. Menatapku tajam. Sementara aku? Tubuhku bergetar hebat. Aih, apakah
aku mengalami tremor?
Ia kembali sibuk
menulis beberapa baris sajak di kertas kuningnya yang usang itu. Aku mengamati
deret boneka goni di halaman Art Jog ini. Masih tak mengerti. Mengambil
beberapa foto dengan kamera gadget-ku.
Kucoba memahaminya benar-benar. Tak juga kumengerti. Saat aku ingin melihat
boneka-boneka goni itu lebih dekat, ia mencegahku. Melirik sisi kirinya, lagi. Aku
paham.
“Dari banyak boneka goni itu, hanya dua
yang paling menonjol. Kau melihatnya?”
Segera aku menggeleng.
“Aih, dasar anak muda yang tak peduli
pada seni dan histori, kau.” Ejeknya.
Aku mendengus kesal.
“Keduanya saling melirik tajam.
Memperhatikan kesalahan sebiji sawi milik masing-masing lawan. Padahal? Yah,
kau tahu bahwa lagi-lagi gajah di pelupuk mata tak pernah terlihat,” katanya
geram.
“Kau sendiri, apakah masih bingung
tentang arah tujuan Indonesia ke depannya?” tambahnya ingin tahu.
“Hehehe sejujurnya sih iya. Nggak tahu mau milih yang mana.”
“Coba kamu perhatikan di media massa!
Banyak sekali perdebatan mengenai sebiji sawi yang digajahkan itu. Tidak
bisakah mereka menerima keduanya sebagai selayaknya boneka goni?”
“Boneka?” Tanyaku terkejut.
“Boneka yang tergerak atas dasar
kekuasaan dan demokrasi.”
“Apa yang membedakan keduanya?”
“Tidak ada! Kita hanya diminta memilih
yang terbaik dari yang terburuk.”
“Satu boneka itu digerakkan oleh jubah hitam.
Sementara yang satunya? Carut marut akibat ulah masa lalunya. Satu boneka
bertindak sebagai konseptor, sementara lainnya sebagai problem solving. Rasanya keduanya saling melengkapi. Agak pincang
jika terpisah seperti ini.” Tambahnya.
“Bukankah masa lalu adalah sejarah dan
kita hidup untuk masa kini dan masa yang akan datang? Lalu, buat apa tetap
memandang masa lalu menjadi sebuah patokan?”
“Nah itulah masalahnya! Kau tak bisa
membungkam lubang-lubang pilu pesakitan sejati itu. Mereka berjanji jiwa raga
hidup mati mereka untuk menjadi pesakitan sejati. Aih, seperti sebuah pemaksaan
dukungan.”
Aku terdiam. Mencoba mengingat beberapa
kejadian yang aku tonton di televisi. Hal-hal sepele sangat dipermasalahkan.
Benar kata kakek ini, menggajahkan sebiji sawi. Mulai dari kertas yang
tersembul di sudut jas hitam nan gagah itu, ketidaktahuan mengeni suatu
singkatan, masalah kuda, atau pun masalah status perkawinan. Hai, aku ora urus! Seperti sedikit muak
menyaksikan sebiji sawi yang menggajah itu.
Rasa-rasanya hanya masyarakat berlantai lempung
yang tak tahu panasnya dunia maya. Sana-sini beradu perang membahas kedua
boneka goni itu. Sama saja semuanya. Saling menyanyikan ode kidung pada altar-altar
suci yang ia nodai sendiri. Dan sekali lagi, mereka menggajahkan sebiji sawi.
Mereka tak tahu apa-apa. Mereka hanya paham oleh salah satu. Mungkin seperti
amplop-amplop di sudut pintu bambu. Mungkin. Nah, kan aku tertular virus
menggajahkan sebiji sawi itu.
Aku semakin tak mengerti apa yang pria
tua ini katakan. Seperti selembar resep dokter tua yang harus aku terjemahkan
sendiri. Harus aku pahami sendiri. Meracik obat sendiri. Dan memberinya kepada
pasien sendiri pula. Lalu, apa yang terjadi jika aku salah menafsirkan? Bukan
saja orang itu yang akan hilang, namun
aku juga akan hilang. Tersia namaku saja pada headline surat kabar. Mengalahkan pesona kedua boneka goni itu.
“Apa kau masih pusing tentang kedua
boneka goni itu? Hanya boneka goni saja. Buat apa kau memikirkannya begitu
dalam?”
“Tapi, aku peduli pada tanah surga ini.
Sebut saja mereka berdiri di tanah Yogyakarta. Aku berdiri di tanah Yogyakarta.
Kami sama, kan? Bagian dari Yogyakarta?” Tanyaku mengelak.
“Ya, memang begitu. Hanya bedanya pada
kepuasan. Kau puas dengan dirimu yang berbau etanol, parasetamol, atau bau
mencit-mencit di gedung petinggi sana. Semenatara ia? Ia memiliki kendali atas
semuanya. Ia ingin memiliki kendali atas apa-apa yang kita baui. Mungkin, kelak
ia juga akan menjadi peternak mencit-mencitmu di laboratorium. Hahaha,” kakek
tua itu kembali tertawa.
Aku mengalami nausea. Semua isi kepala
dan perutku ingin keluar. Otakku memanas. Sudah lelah perlahan-lahan
mengartikan kata-kata kakek renta ini.
“Sudahlah. Tak usah terlalu kau pikir
panjang masalah dua boneka goni ini! Apalagi menganai ode kidung para
pengikutnya. Ayolah, kita hanya perlu sedikit berdamai! Menerima dua boneka ini
selayaknya boneka. Eh, boneka berotak maksudku. Buat apa kau berlomba-lomba
menyulap sebiji sawi itu menjadi gajah? Salah satu dari mereka akan memegang
kendali atas apa-apa yang kau baui.”
Aku terdiam. Brusaha menerjemahkan tiap
kata yang keluar dari mulutnya.
“Maukah kau menjadi akar rumput yang
menopang pendusta? Penopang atas dahan yang menipu dirimu? Maukah kau menopang
pencitraan yang menjuntai tinggi tanpa ada buah? Hidup dari air-air ludah yang
kembali kau jilat?”
Jijik rasanya menjilati ludah sendiri
yang sudah dibuang. Aih. Benar saja lidah tak bertulang ini seperti samurai.
Banyak kulihat banyak kehilangan teman ataupun rasa simpati antar teman, hanya
karena mereka menjagokan boneka goni yang berbeda. Lebih indah. Lebih baik.
Lebih berisi. Lebih rupawan. Lebih lihai memacu kuda. Aduh, apalah ini?
Perjuangan yang sebenarnya tak penting untuk diperdebatkan. Abab mereka mengaku
politikus, aktivis, atau cendikiawan. Aih. Namanya juga abab.
“Ayolah! Berhenti saja menggajahkan
sebiji sawi itu! Kepercayaan dan hentian lubang fitnah membuat para goni itu
berubah. Ia dapat menjadi seorang pemikir, seorang konseptor, problem solver. Ia dapat menjadi lebih
arif dan bijak. Seperti….Hujan di bulan Juni.”
Lamunanku hilang saat aku mendapati
seorang petugas menyuruhku beranjak pulang. Langit telah kelam. Muram mungkin
menyaksikan kedua goni yang masih saja bersulut lidah.
Aduh chaaaaaaa udah lama gak baca tulisan kamu, tambah puitis dan sastrais atau entahlah apapun ungkapannya.
BalasHapusKakak menikmati banget ngebaca postingan kamu ini, suka banget pokoknya te o pe! XD
cadas! hahaha
BalasHapus