Ode Dua Boneka Goni
peracik kata
07.49.00
2 Comments
Originated by Risa Umari Yuli Aliviyanti
Nampaknya
semarak Art Jog di Kota Yogyakarta
ini menggemparkan berbagai bagian Negara Indonesia tercinta ini. Tak terkecuali
diriku yang selalu saja menyibukkan diri di dalam laboratorium ceria. Sore ini,
saat kaki langit kemerahan, kusempatkan untuk mengunjunginya. Bangunan tua
kokoh yang kaya akan histori dan seni.
Di bagian depan gedung Taman Budaya
Yogyakarta (TBY) ini aku disambut dengan deretan boneka goni. Aku sedikit tak
mengerti tentang apa makna boneka-boneka goni ini. Ada yang berkepala binatang,
badan porak-poranda, ataupun bentuk lain yang aneh. Lalu, di bawah teduhan
beringin yang rimbun aku bertemu dengan seorang kakek tua yang menikmati
barisan boneka-boneka goni itu. Mungkin ia cukup paham dengan barisan boneka
ini.
“Permisi, mbah!” Sapaku sedikit takut.
Kakek tua itu tak menjawab. Tidak
juga mengangguk. Menoleh pun tidak juga.
Apakah ia bisu? Apakah ia tuli?
Entahlah. Seakan ia tahu apa yang aku pikirkan, ia menoleh sambil tersenyum.
Melirik tikar lusuh di kirinya. Memintaku duduk di sebelahnya tanpa banyak tanya.
“Mbah,
bolehkah saya bertanya?”
Lagi-lagi ia tak menjawab. Tak mengangguk.
Bahkan menoleh pun tidak.
“Adalah ode suci yang mengaung-ngaung di
angkasa. Keluar di antara lubang-lubang pilu pesakitan sejati. Entah apa kidung
yang disampaikan. Entah apa fitnah yang ia pupuk dan tanam.”
Pria renta itu berdeklarasi. Membacakan
tulisan pada secarik kertas miliknya yang sudah usang dan menguning.
“Aku tak mengetahui sedikit pun tentang
sastra. Entah apa yang ia katakan. Yang ada dipikiranku adalah aku harus
sesegera mungkin memberinya obat penenang seperti benzodiazepine.
Atau butuh sedikit injeksi untuk menidurkannya. Aku pikir dia sedikit tidak
waras. Aih, busuk sekali pikiranku.
Lagi-lagi ia seperti
seorang peramal. Mengetahui apa yang sedang aku pikirkan akan dirinya. Ia tersenyum
kali ini. Menatapku tajam. Sementara aku? Tubuhku bergetar hebat. Aih, apakah
aku mengalami tremor?