Perspektif Kedua
Mungkin deratan pesan berantai kala itu
Ataupun puisi yang tak pernah selesai untuk aku tuliskan membuatmu sedikit tersipu
Katamu, kamu juga punya banyak hal yang lebih hebat dibanding aku
Hahaha aku tahu. Sejak dahulu. Tapi kamunya saja yang baru menyadari.
Katamu bertanya, bolehkah memulai 1 parafrase saja di halamanku ini
Tentu saja. Ini bukan hanya dunia milikku saja, tapi kau juga.
Setelah sekian malam yang gigil terlewati tanpa pelukmu,
Setelah banyak malam gelap sunyi tanpa hadirnya suaramu,
Nyatanya kini kau kembali
Meramu beberapa temu menjadi satu
Menghidupkan kembali malam dan angan yang pupus dan hilang
Ujarmu, kamu memperhatikanku dari jauh
“Masih kulihat sosokmu yang pekerja keras. Yang tak sedikitpun gentar untuk menyerah pada mimpimu.”
“Masih kulihat garis wajahmu yang tegas. Yang bisa memberi keputusan untuk semua anak-anakmu di tempat kerja.”
“Masih kulihat punggungmu yang tegap dan penuh tempaan.”
“Dan juga masih kulihat kasih sayangmu yang begitu tulus dan lembut. Yang banyak memberiku tangkupan doa. Yang tak pernah sekalipun merubah sikapmu kepadaku.”
Banyak lubang yang membuat kita jatuh.
Banyak luka yang menyayat hati dan juga pikiran kita.
Tapi di sudut kota Jogja saat itu, hiruk pikuk kepala menjadi satu.
Terdiam dan hening. Penuh bisu.
Dalam dekap hangat pelukmu.
Ya, itulah yang selama ini kurindukan.
Katamu, kamu masih hafal di mana letak kedai makanan terenak kesukaan kita
Di pojok jalanan yang ramai, ada sebuah kedai sup terenak
Di pinggir kota, kuah gulai selalu teringat, kan?
Di jalanan yang selalu wajib terlewati
Di tempat kita biasa mengukir mimpi
Di tempat kita pernah menangisi kesulitan hidup bersama
Meski entahlah, untuk siapa bahagiamu kelak
Di tempat kita selalu memusingkan hidup, menerima amorfati, dan berusaha saling menguatkan
Meski kini, kau mungkin jauh lebih kuat menopang lemahnya hidupmu
Dan di setiap sisi potongan kenangan Jogja
Katamu, kamu tak akan pernah lupa.